CSR: Peluang yang dianggap Beban

Saya sempat tercengang membaca beberapa pemberitaan, bahwa banyak pengusaha yang menolak diberlakukannya undang-undang nomer 40 Th. 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT). Walaupun substansi penolakannya tidak secara terang-terangan pada undang-undangnya yang mewajibkan CSR (Corporate Social Responsibility) bagi BUMN, tetapi pada besarnya persentase kewajiban mengalokasikan dana CSR. Permintaanya agar pemerintah mereduksi persentase dana CSR yang wajib dikeluarkan perusahaan.

Kekagetan saya tereduksi setelah memahami pola pendekatan dari pihak yang pro maupun yang kontra. Semuanya sama-sama memiliki hujjah (landasan) yang kuat. Misalnya saja, alasan yang ditulis oleh Muhammad S. Hidayat (Ketua Umum Kadin) bahwa sebagai sebuah tanggung jawab sosial, UU ini telah mengabaikan sejumlah prasyarat yang memungkinkan terwujudnya makna dasar CSR, yakni sebagai pilihan sadar, adanya kebebasan, dan kemauan bertindak. Mewajibkan CSR, apapun alasannya, jelas memperhangus sekaligus ruang-ruang pilihan yang ada, berikut kesempatan masyarakat mengukur derajat pemaknaaanya dalam peraktik.

Tapi sangat berbeda bila kita melihat realitas. Bahwa budaya CSR sekaligus manfaatnya selama ini jarang dilakukan oleh perusahaan, belum terbaca analisis manfaatnya, tidak lain selama ini hanya sebagai bentuk tanggung jawab atas dosa sosial yang telah dilakukan, walaupun sebenarnya sekarang sedang hangat-hangatnya diperbincangkan. Bisa jadi juga, penyebabnya adalah pola bisnis kapitalis masih membayangi para stakeholder pelaku bisnis di negara ini.Pada sisi lain, sungguh menggiurkan dari apa yang ditulis oleh Philips Kotler dalam buku “CSR: Doing the Most Good for Your Company and Your Cause”, yang menyebutkan beberapa alasan mengapa sebuah corporate penting untuk melakukan kegiatan CSR. Ia menuliskan bahwa CSR bisa membangun positioning merk, mendongkrak penjualan, memperluas pangsa pasar, meningkatkan loyalitas karyawan, mengurangi biaya operasional, serta meningkatkan daya tarik corporate terhadap investor.

Mengapa bisa terjadi hal yang demikian? Coba simak sebuah penelitian Global CSR Survey, yang ditulis dalam majalah Marketing dan menjadi bahasan pula dalam majalah Madani, bahwa dalam survei di 10 negara, mayoritas konsumen (72%) mengatakan sudah membeli produk dari suatu perusahaan –serta merekomendasikan kepada konsumen lain sebagai respon terhadap CSR yang dilakukan perusahaan tersebut. Sebaliknya, sebanyak 61% dari mereka sudah memboikot produk dari perusahaan yang tidak punya tanggung jawab sosial (CSR).

Contoh menarik adalah CSR yang dilakukan oleh Unilever yang juga ditulis oleh Majalah Marketing. Unilever membuat program pemberdayaan budidaya ikan air tawar untuk bahan baku penyedap rasa Royco. Dalam program tersebut mereka merangkul UGM dan berhasil menciptakan inovasi baru penyedap rasa cair bebas mono sodium glutamate (MSG). Manfaatnya, selain memudahkan pasokan bahan baku, juga dalam jangka panjang hal itu bisa mendatangkan profit besar karena kesadaran konsumen terhadap kesehatan kian tinggi.

Jadi, kalau boleh saya berharap, bukanlah penolakan yang semestinya dilayangkan. Tapi bagaimana menciptakan peluang-peluang keuntungan sekaligus kebaikan dari dana CSR itu. CSR bukan lagi dipandang sebagai keterpaksaan, tetapi kebutuhan. Bukan lagi dilihat sebagai biaya (cost), namun sebuah investasi yang bernilai milyaran rupiah, bahkan lebih dari itu.

Maka, bila hangatnya perbincangan tentang CSR ini menjadi tidak merata, hanya berkutat pada pelaku-pelaku bisnis yang sudah menyadari manfaatnya, sudah seharusnya setiap kita dapat menagmbil andil dalam memasarkan CSR. Menyampaikan kepada kolega dan juga mitra. Membuat akselerasi pertumbuhan bisnis yang sehat dan upaya penyejahteraan masyarakat menjadi masyarakat yang berdaya, dan lepas dari kemiskinan. Wallahu’alam.

Bagikan ke teman : 😍👍

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Sosial Media

Terpopuler

Kategori