Hidup itu tidak banyak pilihan, kerjakan kebaikan atau tinggalkan kebaikan. Lebih – lebih bagi pelaku kebaikan, setiap melaksanakan kebaikan merasa selalu ada kebaikan lain yang ditinggalkan.
Anda pas benar saja bisa salah, apalagi pas salah. Maka dalam kebaikan saja kita butuh istighfar, apalagi dalam keburukan.
Contoh kebaikan adalah majelis ilmu. Mendatangi majelis ilmu itu kebaikan tapi pada saat yang sama kita meninggalkan kebaikan bersama keluarga. Karena kita berada di majelis ilmu kita tidak dapat mendampingi anak-anak belajar atau menemani istri belanja.
Bayangkan jika anda mendapat 3 undangan yang bersamaan waktunya. Jika anda memilih salah satunya, itu berarti anda tinggalkan 2 kebaikan untuk mendapat 1 kebaikan.
Makanya, orang baik itu serba salah. Membangun masjid 2 milyar, tetapi ada tetangga kita yang lebih membutuhkan. Seandainya uang 1 milyar itu kita gunakan untuk menbantu fakir miskin, berapa orang yang bisa kita bantu?
Kita bisa memberikan banyak contoh lainnya, intinya bahwa dalam setiap kebaikan itu ada kebaikan lain yang terpaksa (dengan sadar) kita tinggalkan.
Karena kita memang tidak mempunyai banyak pilihan.
Karenanya, kita dianjurkan bedoa: “robbana dholamna anfusana, ya tuhan kami, kami telah mendzalimi diri kami sendiri”.
Bahwa dalam doa itu, kita ini selalu merasa mendhzolimi diri sendiri, karena dalam pilihan-pilihan itu pasti ada salahnya.
Kenapa meminta maaf dan minta ampun kepada tuhan, padahal kita sedang melakukan kebaikan? Karena ternyata ada kebaikan lain yang belum mampu kita kerjakan.
Akhirnya ada satu pertanyaan datang dari dalam lubuk hati kita, “Apakah aku patut bersombong dan berbangga diri dengan setiap kebaikan yang aku lakukan?
Jawabnya ada di dalam hati kita, wallahu a’lam bish-shawab
(Oleh: Alim Mahdi | IG/Youtube: @alimmahdi | Tiktok: @alimmahdi07)
